surat kabar bandit kelas teri

1 Feb 2012

Hari ini aku terbangun, tak ada burung-burung yang bernyanyi, dan tak ada sinar mentari yang biasa membasahi wajahku. Sinar matahri yang biasanya memaksa memasuki celah-celah jendela kamarku tak datang hari ini, dan burung-burung yang biasa menyanyikan lagu selamat pagi ketika aku terbangun tak terdengar sedikitpun. Pagi ini terasa gelap, dan hanya suara rintik hujan yang semakin menderu dengan kasar, seakan mengusir burung-burung dan sinar matahari yang biasa menemani pagi hari ku. Aku tak membenci hal ini, tapi jelas aku sangat kehilangan satu kebiasaan yang seharusnya. Aku sangat menyukai kicau-kicau burung yang bersahutan,burung-burung itu tampak riang dan mengusir sebagian mimpi buruk ku malam tadi, lalu sinar matahari yang biasa membasahi wajah ku seakan menerangi apa yang terjadi hari kemarin dan menyapu hal-hal yang menyebalkan. Namun aku juga tak berhak untuk mengusir hari ini, dan membencinya secara keseluruhan. Hujan turunlah, basahi semua yang kau mau, buatlah sesuatu yang menyenangkan dari hari yang tanpa matahari ini. Hujan jatuhlah, buat semua seakan indah dengan ketidak-nyamanan yang biasa kau bisikan, sirami tiap langkah orang-orang berdasi dan buatlah mereka kerepotan agar mereka lebih berfikir untuk mencintai pekerjaan mereka dalam tekanan.
Aku menuruni anak tangga terakhir, dan mencoba sedikit lompatan agar aku tampak bersemangat hari ini. Hal yang membuatku sedikit muak dengan kepura-puraan ku ini, faktanya aku sekarang berada pada situasi yang menyebalkan, dimana aku harus melalui hari-hari yang tidak cerah ini. Aku tak mau terpuruk dalam sebuah situasi yang membuatku tertekan, tapi aku juga tak bisa membohongi apa yang ada dalam perasaan ku. Aku bukanlah mereka-mereka dengan safari licin dan wajah cerah yang selalu pandai menutupi tiap tekanan, yang selalu menghabiskan berjam-jam untuk sebuah kursus tentang cara berkelit. Apa ini salah mereka? Aku tak tahu, yang jelas itu adalah pilihan mereka dan yang terpenting adalah itu menjadi tanggung jawab mereka. Saat mereka, aku, kalian atau siapapun memutuskan sebuah pilihan, maka pilihan itu adalah sebuah tanggung jawab, dan dalam tiap-tiap bentuknya, ini adalah sebuah keharusan. Anda yang berdiri disana adalah yang menikmati dan tak terpengaruh dengan hujan yang turun, punya cukup pelindung yang meneduhkan. Namun bagi sebagian orang-orang seperti kami, ini adalah situasi tersulit yang akan banyak menguras tenaga dan pikiran kami. Aku, dan sebagian dari mereka yang seperti ku selalu bertanya dan berfikir bagaimana cara memaki kalian, itu sungguh menyenangkan meski pada faktanya itu adalah sebuah tindakan sia-sia yang buruk. Tapi hanya itulah harapan kami, kami yang terbuang, kami yang tertekan, kami yang tertindas dan kami yang merasa kecurangan atas situasi yang membosankan ini. Kita tak pernah berbicara tapi kami seakan lebih menghargai anda, bagaimana bisa hal ini terjadi. Bahkan untuk sekedar menggapai hak-hak umum yang yang lumrah pun, anda sepertinya lebih memiliki kuasa dari pada kami. Entahlah, ini suatu yang memalukan atau sebuah kehormatan serta kebanggaan kami secara umum kepada kalian yang jelas-jelas telah menghapus apa yang menjadi hak kami.
Ku tuangkan secangkir kopi panas kedalam sebuah cangkir usang yang tampak mulai retak pada bagian gagangnya. Pagi ini kopi ku terasa sangat pahit, tapi aku tak mengeluh. Aku tau seperti inilah kopi kami dan memang akan tetap seperti ini meski tebu-tebu itu telah dimasukan kedalam cangkirnya sekalipun. Aku menyukai tiap-tiap ekspresi yang muncul pada tiap-tiap seruputan kopi pahit ini, selalu saja menghadirkan ribuan garis pada wajah. Tak ada sedikitpun yang aku tutupi dari rasa yang aku minum, ekspresi ini adalah yang sesungguhnya. Rasa nikmat dari sebuah kegetiran yang telah terbiasa aku minum setiap hari. Bukan sebuah dongeng bila aku sangat bekeringat untuk sekedar melanjutkan langkah ku meski hanya untuk hari esok, dan selalu menjadi gila untuk sekedar memikirkan hari lusa. Bagaimana dengan mereka? Mereka yang duduk dalam sebuah kenyamanan sama sekali tak pernah berkeringat bahkan menjadi gila untuk sekedar mengurusi anak cucu mereka. Mereka seakan menjadi lain dan menempatkan kami pada dimensi yang berbeda meski pada kenyataannya kami berpijak pada ruang dan waktu yang sejajar. Langkah ku adalah langkah perjuangan, bukan sebuah formalitas atau sekedar pembubuhan tanda tangan diatas kertas yang sama sekali tak pernah kalian baca isi tulisan diatasnya.
Kopi ku mulai mengeringan, dan satu tarikan telah menghempaskan air hitam itu bersama sebagian bubuk kopi yang telah pekat tersiram panas. Aku ludahi sisa-sisa bubuk kopi itu pada tempat sampah kaleng yang semakin banyak karat disetiap sisinya. Sambil mengisap puntung rokok semalam aku mulai bisa berbicara kasar dan seakan situasi inilah yang telah mengajari ku untuk bisa meludahi apa yang aku benci. Menginjaknya dan mencoba menendangnya jauh-jauh hingga masuk kedalam ranah yang paling dalam sehingga aku dapat terus memakinya. Aku sangat sibuk, tapi akan selalu ada waktu untuk sekedar melihat disekeliling dan merasakan apa yang terjadi dan apa yang akan kami siapkan. Aku menghargai perbedaan ini dalam jumlah-jumlah tertentu dan dalam arti yang sewajarnya, bukan sebuah perbedaan dimana kalian telah membuat garis pembatas dan mementingkan sebuah nyawa dengan nyawa yang lain. Kalian bukanlah orang-orang pilihan tapi kalian adalah orang yang dipilih, maka bukalah mata kalian dan berbuatlah sedikit kebaikan pada kami. Bukan belas kasihan yang kami butuhkan, bukan pula ucapan-ucapan manis yang membuat kami bahagia, yang kami butuhkan adalah kesempatan dan ruang untuk tetap mencapai hak-hak kami sampai kami bisa tertidur dimalam hari dengan tenang. Diantara kalian bukan lagi seorang yang ahli, hanya seorang figur dengan latar yang sungguh aku tak tahu bagaimana bisa orang-orang seperti mereka menanggung beban ini. Bukankan itu sungguh memalukan?
Hujan telah sedikit reda dan aku menyiapkan sebungkus roti keras tanpa isi yang ku bungkus dengan kertas koran. Dengan mantel lusuh ini aku berjalan menyusuri trotoar-trotoar untuk bisa melanjutkan kisah ku untuk bisa menikmati nyanyian burung dan sinar matahari pagi esok hari. Entah bisa atau tidak yang jelas aku telah menyiapkan segalanya untuk tetap bertahan, dan aku tak bisa menjamin sesuatu yang halal untuk aku makan esok, lusa atau seminggu kedepan. Kalian mungkin tak akan seburuk ini, kalian punya pilihan yang lebih menggiurkan, dan tetap bisa memanjakan diri dengan yang kalian sebut halal. Yang tak pernah terpikirkan oleh aku dan orang-orang sepertiku adalah kenyataan bahwa kalian telah menjerumuskan diri pada sebuah kesombongan dan perasaan yang tak pernah puas. Kalian berjalan diatas batu-batu marmer dengan kualitas nomor satu, sedangkan kami hanya berjalan diatas batu bata yang tergenang air dan sangat becek. Aku berjalan dengan alas yang selayaknya, menapaki tiap genangan-genangan air saat hujan atau memburu debu saat panas menghujam ujung kepala kami. Kami tak pernah iri dengan keadaan kalian, roda-roda kendaraan kalian cukup tenang buat anda duduk dan bersantai untuk sekedar menempuh perjalanan menuju tempat kalian bekerja. Kami sama sekali tak iri, dan itu hal yang sebenar-benarnya, karena yang kami butuhkan adalah fakta bahwa keringat kami menghasilkan roti untuk esok.
Perjalanan ku menyusuri kota ini terhenti saat seorang wanita tua keluar dari sebuah toko mewah dengan tas yang menggantung digenggamannya pada sebuah tangan yang mulai mengkerut. Dia terlihat begitu berhati-hati dan sangat waspada untuk sekedar mencurigai anak-anak jalanan yang melintas didepannya. Aku membakar rokok ku dan bersandar pada sebuah tiang lampu jalan yang tak jelas kapan lampu itu nyala dan kapan saatnya tiba dimatikan. Asap rokok ku mengebul dihadapanku, namun aku menolak untuk lengah dan terus memperhatikan sekitar, saat seorang anak muda menghajar temannya dan menggasak kantong-kantong celananya lalu pergi tanpa merasa takut. Aku mulai terbiasa dengan apa yang ku lihat, bocah-bocah usang berlari sambil membawa alat musik seadanya untuk mengamen, entah apa yang ada dipikiran bocah-bocah malang itu. Satu hal yang mengusik ku adalah saat seorang wajah masam duduk dibalik sebuah mobil mewah yang terparkir disebelah sebuah kantor pencurian umum. Angin yang berhembus dan dingin sisa-sisa hujan masih menembus kulit ini, dan sesekali kebulan rokok ku semakin cepat keluar dari mulutku. Pernahkah terpikir oleh kalian tentang masa depan bocah-bocah yang berlarian itu, bukankah mereka adalah anak negeri ini yang harus dilindungi dan mendapat hak-hak yang lebih baik serta kesempatan-kesempatan yang lebih baik pula dari kalian. Tapi pada kenyataannya, mereka tak mendapatkan kesempatan itu, mereka bekerja demi roti hari ini, tapi kalian bekerja untuk roti yang lebih baik sebagai persiapan tahun-tahun mendatang. Kami hanya mencintai apa yang membuat kami hidup, tapi kalian mencintai apa yang membuat kalian menjadi lebih sombong. Bocah-bocah itu bekerja dengan seisi keringat mereka dihari itu, dan kalian hanya butuh sedikit berfikir untuk masa depan mereka. Bukan hanya menyalahkan keberadaan mereka, tapi tanyalah pada diri kalian masing-masing, sudahkah kalian membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik.
Rokok ku mulai habis dan sambil membanting puntung rokok itu aku mulai berjalan, agak cepat dan terus menatap tajam kedepan. Seketika suara umpatan terdengar dari seorang wanita tua yang tadi baru keluar dari sebuah toko beberapa blok dari tempat ku sebelumnya. Aku berlari saat tas wanita tua itu berhasil aku rampas, dan seketika itu segerombolan manusia dengan wajah memerah mengejar langkah kaki ku yang masih terus berlari. Gerimis turun lagi dan sepertinya ikut memarahi apa yang telah aku lakukan, aku tak peduli dan terus berlari. Beberapa orang hanya memandangi dan menunjuk-menunjuk ke arah ku dari sebuah halte di seberang jalan. Sebuah hantaman keras menghajar pelipis mata ku, dan dalam sekejap aku terjatuh dan kepalan-kepalan tangan penuh nafsu menghujani wajah dan tubuhku. Sepintas angan ku menyusuri kegelapan, dan berfikir kenapa hal ini terjadi kepadaku. Aku adalah pencuri, dan aku sadari hal itu dan kuterima konsekuensinya, dan aku tak pernah membayangkan diriku pada sebuah kerumunan orang yang kejam ini, hanya karena tas seseorang yang aku curi. Kalian telah merampas lebih banyak dari apa yang aku ambil sekarang, tapi kalian tetap pada situasi yang membuat kalian nyaman. Ini jelas tak adil, aku mungkin telah merugikan pemilik tas ini, tapi apa yang kalian lakukan adalah merugikan hal-hal yang menyangkut umum. Lalu bila mereka menyebutku seorang penjahat, maka kata apa yang pantas untuk menyebut kalian? Bila mereka menyebutku seorang bajingan hanya karena sebuah tas, maka aku harus menyebut kalian sebagai apa atas sebuah kerugian ribuan bahkan jutaan rakyat negeri ini? Dan bila mereka menyebutku seorang pencuri, lalu kata apa yang pantas untuk menyebut kalian yang telah menggelapkan milyaran rupiah itu?
Aku tak tahu, berapa banyak tangan-tangan legam itu menghujam wajahku dan berapa banyak kayu-kayu mendarat telak ditubuhku. Gerimis masih terus membasahi tubuhku yang terbaring ditanah, sekejap aku membuka mata saat sebuah ambulance dengan lampu kelap-kelipnya menyelip diantara para kerumunan orang-orang yang masih saja menghujaniku dengan pukulan. Aku berontak dan mencoba membuka suara namun parau dan terdengar berat, dalam hati aku hanya bisa meneriaki umpatan-umpatan dari sebuah kemustahilan. Aku hanyalah seorang bandit kelas teri, dan bukanlah koruptor yang mencuri lebih banyak dari jumlah penduduk negeri ini. Aku hanyalah pencuri kelas teri yang tak tau harus berbuat apa untuk menyambung hidup esok hari, bukan seorang penjahat yang mengumpulkan bulir padi untuk kesenangannya. Dalam redup aku mulai merasa segalanya akan berakhir, dan aku tak dapat menjelaskan betapa sakitnya perasaan ku saat ini. Dalam sebuah perjalanan didalam ambulance aku sadar dan ini adalah akhir dari hari dimana aku akan menggerutu pada hujan. Dalam setengah terpejam dan menitiknya detak jantung ini, hanya wajah seorang perawat dalam mobil pesakitan ini yang masih bisa membuatku sedikit tersenyum. Aku tau perawat itupun membenci ku seperti mereka membenci seorang penjahat sepertiku. Mungkin seandainya bisa, dia lebih memilih untuk tak ada dalam mobil ini untuk memberikan aku pertolongan, menolong seorang penjahat adalah sebuah kebodohan dan aku paham itu. Namun perawat itu tetap mencoba membantuku untuk tetap bertahan, sambil setengah berbisik ditelingaku dan meyakinkan kalau aku hanyalah seorang pencuri dan bukan koruptor. Koruptor lah yang seharusnya mengalami apa yang aku alami sekarang, sekalipun bila aku juga telah menerima hal ini, tikus-tikus berdasi itu sebenarnya lebih berhak atas pengadilan rakyat ini. Dan seiring dengan terpejamnya mata ini, detak  jantungku berhenti dan itu mengakhiri segalanya, semoga segalanya akan cepat berubah, dan kita semua sadar. Apa yang aku lakukan adalah hal buruk dan aku tak pernah membenarkan hal itu, yang aku inginkan adalah keadilannya. Aku sedikit lega atas kematian ini, mungkin bila aku masih tetap hidup dan mengikuti persidangan mungkin kecurangan itu akan terus berlanjut, saat hakim mengetuk hukuman ku sama lamanya dengan para tikus-tikus bersafari itu, dan itu hanya akan membuatku lebih menderita.


“INI ADALAH PILIHAN, KAMI MEMILIHNYA DAN KAMI TERIMA HUKUMAN INI. KAMI MISKIN BUKAN KAMI MALAS BEKERJA, TAPI KAMI MELARAT KARENA KALIAN TELAH MERAMPAS HAK-HAK DAN KESEMPATAN KAMI. KALIAN MENUTUP HIDUNG SAAT KERINGAT KAMI MENGUCUR DITUBUH KAMI YANG MENJADI BUSUK, LANTAS KALIAN MENCELA KAMI SEAKAN KAMI ADALAH SAMPAH YANG HARUS DISINGKIRKAN. TERAKHIR KAMI SADAR KAMI ADALAH PENJAHAT, DAN MENOLAK UNTUK MENUTUPI DIRI ATAS NAMA TUHAN, BUKAN SEPERTI KALIAN YANG BERSEMBUNYI ATAS NAMA TUHAN UNTUK SEKEDAR MENGAKUI KEJAHATAN KALIAN… PENGECUT!!!”