i and the trip across the szechenyi bridge

29 Jun 2012


Tak ada yang aku ketahui, bagaimana mereka para ilmuwan mencoba mengaplikasikan bahwa bumi itu bulat, dan aku hampir pasti mengagumi sosok jenius berkepala setengah botak dengan frame kacamata keemasannya. Bukankah dahulu sebagian dari mereka berkata bumi itu datar? dikelilingi dinding es yang mereka sebut sebagai kutub selatan. Lalu apa yang menyebabkan secara perlahan pandangan itu berubah dan menggantikan teori lama tentang bumi itu? Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah membawa kita dan dunia ini pada suatu dimensi yang meriah, riuh dan segar. Tampak lebih berwarna dan hal ini jelas membuka mata siapa pun akan isi dunia ini, bagaimana mereka tumbuh, bermetamorfosis, marah dan menghancurkan segalanya. Ini sangat unik, dan aku jelas masih tak dapat menghapus kebingungan ini, meski aku sendiri tak bisa meragukan apa yang terjadi disini. Segala bentuk kejadulan telah berganti ke arah yang mereka sebut dengan masa modern, masa dimana ilmu pengetahuan begitu berharga, menggantikan atau bahkan menjadi pelengkap sebuah kekuatan. Sampai detik ini aku masih merasakan situasi dimana separuh dari masa yang merugi dalam diriku, tak hitam namun cukup membuat ku gelap, tak merah pula, tapi ini jelas sebuah kesalahan fatal. 

Mereka yang telah merubah dunia ini jelas membuatku terpesona, menerangi bumi ini, melakukan hal-hal diatas kewajaran manusia namun tetap ter-logika-kan. Aku?? ya sekali lagi aku hanya mampu menjadi seorang pengagum, penggembira, bahkan untuk sekedar menikmati buah pikir mereka pun aku tak bisa benar-benar hanyut. Ini adalah malapetaka, dan ini jelas harus ku rubah, kerinduan ini pada malaikat kiri ku harus segera dikurangi, atau bahkan harus dihapuskan sama sekali. Tak ada jalan yang begitu mudah untuk memulai sesuatu hal yang baru, seperti mereka yang telah merubah teori tentang bumi itu, dan bukan pada proses yang instant, mereka begitu menghargai usaha dan kesabaran mereka, menggadaikan pikirannya pada kehidupan pribadinya dan mungkin memusnahkan rasa lelah mereka. Sekali lagi, aku tetap tak paham dengan apa yang mereka lakukan, meski terkadang aku terlihat begitu antusias dan sesekali mencoba berpikir jauh melebihi kemampuanku. Hal ini aku pikir normal, tak ada yang salah dan segala bentuk kepanikan adalah sebuah dorongan yang bagus. Aku selalu mengagumi mereka, meneriaki mereka dengan rasa bangga atas kekagumanku, faktanya ini adalah hal yang paling idiot selain kerinduanku pada masa dimana aku menjadi seorang yang absurd dan menjadi pribadi yang memalukan. Aku, mereka dan kita adalah sama, terlahir pada proses yang sama dan pada satu spesies yang sama. Perbedaan itu mendasar pada pandangan dan cara berpikir kita. Awalnya semua terlihat normal sampai aku merasa sebuah vandalisme adalah cara menikmati hidup yang benar-benar hidup, merasakan sensasi dari sebuah dorongan negatif dan memberi denyut yang menghidupkan adrenalin. Membaur dalam sebuah kumpulan babi-babi yang kotor yang mengepung mereka pada lumpur-lumpur yang 
menjijikan. Hidup ini harus aku atur, dan mereka jelas tak berhak melarangku sama sekali sampai saat-saat yang membuat dilema mengharuskan ku bersujud menyembah sebagian berhala. Aku mulai muak menghadapi kisah melodramatis yang sendu, walau pada faktanya airmata itu pun juga menjadi hak ku. Dalam tiap periode kehidupan, aku coba memaknainya sebagai sebuah perubahan dan mencoba dengan sangat keras untuk mengaturnya sekali lagi. Tangisanku tak pernah terdengar keras, cukup sendu namun mengharukan bagi batinku, aku merasakan sebuah dejavu yang unik, terkadang menggelikan yang kini membawaku pada sebuah rasa menyesal yang mendalam. Mendengarkan para tetua bercerita sungguh membuatku bosan, menghilangkan sebagian rasa percaya diriku, dan hampir membawaku pada sebuah peperangan yang sama sekali tidak aku pikirkan. Untuk menghadapi seorang Vlad Tepes apakah harus menggunakan bawang putih? lalu apa keyakinan seorang anggota Janissary sehingga membuat mereka begitu mengabdi dan loyal? Aku menganggap ini adalah kekonyolan, mereka tak berhak memasuki ruang pribadiku bahkan aku sama sekali tak perlu doktrin-doktrin penyemangat untuk mempertahankan apa yang aku miliki. Hal lumrah yang selalu aku teriaki, ini aku dan kalian adalah tentang dan hanya hidup kalian, kita tak bisa menyampurnya apalagi bereaksi pada satu kehidupan yang lain. Kesalahan terbesarku adalah lari dari mereka yang sangat menyayangiku dengan salah. Bukan salah mereka sesungguhnya, ditiap pribadi tersimpan antusias yang berbeda, dan pengaruh genetika jelas membawa kita pada bentuk dan kelamin yang berlainan. Begitu pula yang membawa pengaruh mendasar pada setiap sikap dan sifat, aku tak pernah benar-benar memahami hal itu sampai akhirnya aku terjatuh dan terjerumus kelubang yang aku pastikan, kelak aku tak akan terjerumus ke lubang itu untuk yang ke-2 kalinya.


Terkadang kegilaan ku melampaui batas dimana garis kewajaran telah diletakkan, memikirkan tentang konsep dasar time travel, dan membela mati-matian seorang John Tittor yang sama sekali tak pernah ku kenal. Tak lain, itu adalah sebuah ungkapan rasa menyesal seorang rendahan yang masih angkuh. Sesekali sipemalas ini mengetikan beberapa kata yang tak lazim ke mesin pencari, dan mencoba mencari sesuatu yang akan mendorongnya pada sebuah reaksi positif yang menguntungkan. Aku selalu terbuai akan sejarah masa lampau tentang sebuah kemenangan, dan menjadikannya inspirasi pribadi, namun aku terlalu dangkal dan mengaplikasikannya pada tindakan-tindakan yang sia-sia. Separuh dari hidupku adalah muntah, dan sisanya adalah kesalahan. Tak ada setitikpun kebenaran yang aku lewati, sisi dimana seharusnya aku berada dan menikmati rasa bersyukur ku. Isaac Newton memberiku pelajaran beharga pada teori gravitasinya, aku sadar, aku hanyalah milik dari penguasa alam ini, sejauh apapun aku melesat, tentu aku akan kembali padanya dalam keadaan baik ataupun buruk, fakta yang menyakitkan namun membuatku sedikit merenung akan pentingnya menjadi seorang yang benar-benar baik. 


Bukan kesempatan yang membuatku gila, aku jelas memiliki mereka yang hidup melingkariku dengan setiap opsi yang membaikan ku secara pribadi, namun aku tak pernah berfikir setua mereka. Dan aku tak dapat membayangkan, dengan usia yang belasan tahun mengikuti pola pikir mereka yang sebenarnya mereka pun pernah merasakan usia dimana waktu itu aku pijak. Yang tak pernah aku cermati adalah fakta mereka telah memakan garam lebih banyak dari aku yang hanya menjilatinya. Musim ini harus aku tuntaskan, aku tak pernah berharap kebingungan dan kecemasan ini terus berlarut-larut. Aku berusaha menyudahinya dan melangkah dengan usaha yang seharusnya menjadi warisan keluargaku terhadap ku. Aku bukan pembelot yang benar, dan aku bukan penyebrang yang cerdas dan tepat seperti Umar Bin Khattab yang mengkhianati leluhurnya untuk sebuah kebenaran Allah. 


Akhir musim semi akan segera berakhir, namun jalan panjang tak pernah aku ketahui secara pasti. Langkah dan letak kakiku masih terasa bingung, aku tak bisa memprediksi semua, apakah setelah ini musim-musim yang indah akan datang atau musim-musim terberat siap menantang sipemalas ini. Aku tak ingin berujar, dan aku menoak untuk menyesal, aku hanya akan menjalani semua ini dengan apa yang mereka sebut dengan kebaikan, namun tentunya dengan caraku sendiri. Ini adalah sebuah ungkapan tanggung jawab atas apa yang pernah terlewati, dan mencoba menebusnya dengan sesuatu yang membanggakan. Aku bukan ilmuwan yang sanggup menerjemahkan teori- teori briliannya kedalam sebuah hal yang nyata, tapi aku yakin separah apapun nantinya, aku akan dapat membuktikan aku bukan orang jahat, setidaknya bila aku tak sanggup menjadi orang yang baik. 


Terima kasih masa-masa sulit yang membuatku sekarang memiliki hal yang -paling tidak- jauh lebih baik, aku bersemangat, dan aku tak ingin menjadi seperti Mustafa Kemal yang membawa jutaan orang kearah yang salah, menurutku. Aku akan melakukan dan membawa hasil bagi diriku dan aku sama sekali tak berniat membawa mereka kearah ku. Cukupkan saja menjadi sebuah contoh kegagalan yang seharusnya tak dimiliki oleh sekumpulan babi-babi kotor ini. Aku tak seburuk yang mereka kira, dan aku bersyukur, namun aku mencoba meresapinya dan meletakan kecukupan ini pada sebuah titik nadir seorang anak kampung yang naif...

0 komentar:

Posting Komentar